Selasa, 31 Mei 2011

Lirik Ran-Nothing Last Forever

Ran - Nothing Lasts Forever

Baby, I know that sometimes you don't get it
Why we're always torn apart
Now we don't want us to get separated
Because u're always in my heart

And if you love me baby, then let's go crazy
Let's turn this world around
Oh, baby I'm your man and you're my lady
Loving you is what I do
Because of you I feel free now

(Chorus)
Nothing lasts forever, but baby I..
I'm gonna keep coming back..
to keep this love on the track, yeah
Nothing lasts forever, but baby I..

I'll try (I'll try)
So hard (so hard)
To keep you coming back for more

Baby if I die today
I want you to know that I love you all the way
SO baby please I'm begging you to stay
Because baby, you're my shining star

Oh, baby I will hold you tight
I'll make you feel safe every time you're by my side
Don't hesitate because everything will be alright
Loving you is what I do
Because of you I feel free now

powered by lirik lagu indonesia

Selasa, 03 Mei 2011

Hantu Bus (prolouge)

Prologue
Gemerlap lampu terus menyoroti pengunjung. Mengikuti dentuman Bass dan mixer dari DJ diatas panggung yang memanjakan malam itu. Kehidupan malam akan selalu terus menggelora. Dinikmati oleh masyarakat dari kaum hedonis masa kini yang sangat merindukan kehidupan yang Glamour. Namun tak jarang pula hadir para pelajar. Yang memang sedang mencari hiburan, atau kenikmatan.
“Son,!” teriak Nita...”kenalin ni teman gue dari Bandung!”, teriaknya dari meja no 4 kepada Sonia yang terus bergoyang. Alunan musik selalu membawa euphoria tersendiri terhadap semua pengunjung disana. Tak terkecuali Sonia. Gadis hitam manis ini baru saja mencicipi nikmatnya malam di Yogya.
Sonia menghampiri meja tersebut. Memakai blus warna keunguan dan sepatu gladiator yang seksi. Menampilkan eksotisnya wanita Jawa.
“Ya..?”, jawabnya lembut. Wanita ini tidak mabuk, namun tubuhnya penuh bahasa yang memabukkan pria. Dia melangkah mendekati mereka.
“Kenalin, ini Agie, ini Jefry, ini Sandi..”. Sambil menyodorkan tangan, mereka berkenalan satu satu dari kiri kekanan dari arah Sonia.
“Cakep juga”, sambil mencium tangan Sonia, Sandi coba merayunya.”Ah, Gombal..tapi terima kasih, aku emang cantik kok..” balas Sonia.. gurauan itu memecah meja yang sepi dan kembali ramai dengan gurauan khas mahasiswa.
-------------------------
Suara disko sudah tidak terdengar. Nita dan Sonia sudah diluar dengan keadaan lunglai.
Sonia sudah tak dapat lagi berdiri, tubuhnya dibopong oleh Sandi. Tangan kanan Sonia merangkul punggung Sandi yang kecil. Ya, karena dia memang berperawakan agak pendek. Sedangkan Nita masih memegang sebotol mix max yang terisi tinggal seperlimanya. Dia mencium manja pipi Agie dari belakang. Entah apa yang diminum Nita didalam. Keadaannya bahkan lebih parah daripada Sonia. Dia harus digendong oleh Agie.
“Gie, elu mboncengin Nita y, q nganterin Sonia dulu ke Kost”, kata Sandi.
“Oke!” tandas Agie. “Tapi elu ati ati ya, jalan di seputaran xxxxxxxx berbahaya...katanya angker”.
“Santai aja.....Setanya baru pulang Dugem”. “Hahahahaha!”, tawa mereka berdua.
Sonia merasa tubuhnya diguncang, tapi dia diam saja. Dia merasa nyaman memeluk Sandi karena dia tampan. Kedua pasangan tersebut naik motor untuk segera bergegas pulang.
“Jalannya sepi y”, ujar Sandi memecah keheningan.
“Iya”, jawab Sonia pelan.
Sesampainya di jalan yang ditunjukan Agie, Sandi melihat kabut tipis berwarna putih keabuan. Dia melewatinya dan berfikir bahwa kabut itu hanyalah kabut di pagi hari.
Tidak jauh kemudian, sampailah mereka di suatu areal persawahan yang tampak tidak asing bagi Sonia. Dia menyadari kostnya telah dekat. Mereka berhenti di depan pintu. Sonia memegang tangan Sandi yang dingin dan mengucapkan selamat jalan. Namun Sandi cuek saja. Dilihatnya Sandi enggak memakai jaket, diambilnya jaket dari kamarnya sambil menyuruh Sandi menunggu. Sonia menuju ke kamarnya di lantai 3. Kostnya sangat unik. Tidak ada halaman depan. Hanya ada garasi besar dengan 2 rolling door di depan. Sisi sebelah kanan dan kiri rumah hanyalah sawah. Sedangkan jalan yang mereka lewati tadi hanyalah jalan kecil yang diaspal tipis.
Setelah keluar kamar, Sonia turun ke lantai 2 dan menuju lantai 1.” Dingin sekali”, gumamnya sambil menyilangkan kedua tangan dan mengelus lengan atasnya berkali kali. Dia turun dengan membawa cardigan tipis miliknya.”Aneh, kost sepi sekali rasanya”. “TV tidak bersuara, kipas juga tidak berputar”, katanya dalam hati saat melewati ruang bersama di lantai 2. Dia lalu saja ke lantai 1 untuk segera menuju pintu keluar.
Sandi yang berada di luar merasa aneh melihat Sonia. Dia tidak turun juga dari boncengan motornya. Dia terus memeluk Sandi dari belakang. Tangannya rapat mengenggam di perutnya.
“Sonyaaaa....turun yuk, uda nyampe kost ni..”,bujuk sandi sambil melepas helmnya. Namun Sonia tak bergeming. “Son..........., ayoo....”, lanjutnya sambil mencoba melepas pegangan kekasihnya itu.
Tangan Sonia terasa dingin, bak batu kali yang baru saja diambil dari sungainya. Namun tangan itu menggenggam sangat erat. Dan keras. Seperti simpul pada pasungan hewan. Sandi mulai berontak. Dia menarik genggaman itu dengan keras. Tapi tak berubah banyak. Lehernya terasa diselimuti hawa dingin yang sangat khas. Bulu kuduknya berdiri serentak. Dia belum berniat melepas tubuh dari genggamannya itu. Namun tubuhnya bergerak sebelum kehendaknya. Dia menoleh pelan ke belakang.
“cpluk....”
Bola mata baru saja jatuh dan menggelinding dari mata pemboncengnya.
Sandi berontak kencang. Kepalanya terasa kencang. Tubuhnya serasa habis dilumat pikirannya sendiri. Dia meronta hingga motor Thunder merahnya jatuh ke sebelah kiri tubuhnya.
“ARRGGHHH!!!!!!!TOLOOOONGGGG!!!!!!!”
Itulah yang ada di benak Sandi. Namun manusia yang menggenggam erat dirinya itu terus saja mengeluarkan cairan encer dari matanya. Sandi berontak dan lari. Akhirnya dia lepas dan berlari menunduk sejauh mungkin dari tempat berpijaknya sekarang.
Sonia sudah berada di bawah. Ia berada tepat di depan Sandi yang masih di atas motornya. Dia memanggil Sandi untuk segera turun. Sonia malas keluar garasi. Sandi yang masih memakai helm tipe fullface itu turun menghampiri Sonia. Sekarang dia tepat berada di depannya.
Sonia melepas helm kepunyaan Sandi. Kemudian memakaikan cardigan coklat kesayangannya padanya. Dilihatnya wajah sandi yang pucat kebiruan. Namun wajah itu tampak lesu sekali. Diperhatikannya lagi tulang pipinya yang makin lama makin menonjol.
“San, kamu sakit?”, tanya Sonia.
Sandi tak menjawab. Namun tangannya naik memegang pundak Sonia.
Sonia merasa senang. Kepala mereka mulai mendekat dan bibir mereka mulai beradu.
“Aduh..”, gumam Sonia,”Sandi...tanganmu menggenggamku terlalu keras”, sambil mencoba melepas pegangan Sandi. Pegangan itu terlepas.
“Sakit san....” tangan kirinya memegang pundak kananya. Dia mengelusnya cepat cepat.
“San..!”Sonia memanggilnya..
Namun Sandi tak ada di depannya.
Dia menoleh ke kiri. Namun hanya dipandangnya pohon di tepi jalan yang berjajar lurus.
Dia merasakan tepukan di pundak kananya. Dia belum berfikir namun badannya sudah menoleh.
“San...elu jangan bercanda y....”. Kata Sonia sambil melangkah kebelakang.
Sandi mengikutinya.
Sonia merasa jantungnya berdetak kencang. Dia bergerak lagi kebelakang, kaki kirinya sudah melangkah. Namun Sandi makin mendekat.
Sonia sudah akn lari saat Sandi mengambil ancang ancang untuk memegangnya lagi. Namun Sonia lebih sigap, dilemparnya tangan kirinya kebelakang agar Sandi tak dapat menggapainya.
“Plak!”
Sonia menampar Sandi.
“Hei San..jangan main main ya! Bangun!, elu mabok?”, kata Sonia marah. Sandi tak menjawab. Kepalanya masih menghadap ke bawah karena tamparan Sonia tadi. Poninya yang panjang membuat separuh wajah Sandi tertutup. Sonia merasa tangan kananya lengket.
Dia mengangkat telapak tangannya sedada. Dan melihat gumpalan kulit disana.
Dia berteriak.
“Sonnniiiiiiaaaaaaaaaaaa.....”, Sandi berkata sambil mengangkat wajahnya. Dilihat oleh Sonia pipi kirinya robek, cacing keluar dari sana. Darah hanya sedikit. Namun guratan dan urat urat berwarna putih terlihat segar.
Di akhir katanya Sandi menganga. Mulutnya berubah jadi lebar dan menyobek sisi kiri kanan bibirnya. Ludahnya memancar dan lidahnya menjulur.
Sonia berlari. Dia reflek dan begerak menuju lapangan di kiri kostnya. Badanya bergetar tidak karuan. Giginya menggertak. Dia berharap menemukan orang disana. Dia berharap pagi cepat datang.
Dia sampai di pos kampling kecil di pinggir lapangan. Catnya berwarna putih. Konstruksinya dari kayu dan sambungan antar sudutnya sudah dimakan rayap. Sedang lebar kiri dan kananya tak lebih lebar dari dua buah becak yang diparkir sejajar. Sonia menuju kesana. Dia bersembunyi di samping kirinya, memeluk dirinya sendiri. Menangis.
Dirasakannya pijakan kaki lemah di sisi samping bangunan itu. Diintipnya segera. Kepalanya sudah berada si sela kakinya. Segera dia merangkak pelan ke bawah bangunan untuk bersembunyai. Rumput dan tanah dirasakan seperti teman lama. Dia menggenggamnya tanpa daya. Dia hanya berharap subuh dapat menyembunyikan dirinya.
Kaki itu mengitarinya. Dia menutup mulut untuk menahan tangis. Namun air matanya deras keluar. Dia merem dan mengatupkan 2 tangannya kemulutnya.
Sandi yang tadi berlari sudah sampai di tengah lapangan. Dia menahan nafasnya sekejap dan tahu ada yang tidak beres, di mengambil kayu sebesar paha di sampingnya. Dia kini berada di bawah pohon yang amat rindang. Dia tidak tahu kiri maupun kanan. Dia bersiaga.
Sandi mengayunkan gadanya ke arah kiri tubuhnya. Perasaanya tidak salah. Dan tepat mengenai kepala Sonia. Segera Sandi melepas senjatanya dan melompat ke arah Sonia yang sudah jatuh dua langkah ke belakang. Dilihatnya Sonia pingsan. Kepalanya sudah memar tanpa darah. Sandi mengutuk dirinya sendiri. Segera ia meminta tolong. Namun tak ada yang mendengar. Sekarang tubuhnya basah oleh keringat. Tidak ada lagi yang mampu dilakukannya. Suaranya seakan ditelan kerongkongannya sendiri.
“San, kamu ngapain...?”
Sandi menoleh
Dilihatnya Sonia dibelakangnya.
“San...?”
Dilihatnya lagi Sonia yang ada di depannya.
Sandi berlari lagi. Tubuh yang digenggamnya tadi berubah menjadi rangkaian potongan daging manusia. Sedangkan Sonia yang dibelakangnya tadi telah menghilang seperti angin.
Sandi merasa Handphonenya bergetar. Diangkatnya sambil berlari. Dia mengenal suara itu.
“San....tolong aku”,
“Sonia!”, pikir Sandi.
“Son!kamu dimana?kamu nggak apa apa kan?”, ujar sandi sambil menghentikan langkahnya.
“ San..to...long aku... aku takut”, kalimatnya sangat sesenggukan.
“ iyaa iyaa.. kamu tenang ya..tenang...gak usah takut,kamu dimana sekarang?”, ucap sandi mencoba menenangkan Sonia.
“ aku takut san...mereka itu siapa? Aku akan mati...tolong aku san...tolong...”, tangis Sonia makin keras.
Sandi mencoba kembali ke kost. Dia tidak peduli dengan makhluk yang tadi ada di depannya. Dia berniat menolong Sonia.
“ aku di bawah pos kampling San...dekat lapangan..dia juga ada disini”.
Ucapan Sonia menghentikan langkah Sandi. Dia percaya kata kata dari telepon itu. Dikumpulkannya keberaniannya kembali. Jantungnya serasa akan lepas dari dadanya saat dia menuju ke begian depan pos kampling itu. Dikepalkannya tangannya sekencang mungkin. Dia melihat dengan waspada. Dia tahu Sonia ada di dekatnya.
“ Son, aku uda ada di depanmu..cepat keluar,aman kok,nggak ada siapa siapa”.
Sonia yang dari tadi menelpon sambil mencium tanah mencoba melihat ke depan. Dilihatnya kaki yang tadi mengejarnya sudah tidak ada. Sonia merangkak maju untuk segera keluar. Dilihatnya sebelah kiri dan kananya sepi. Dia percaya kata kata Sandi.
“ Sandi kamu dimana? Cepat ke sini...aku di didepan pos kampling”. Kata Sonia.
“ Aku di depan pos kampling Son..aku dibawah lampu sekarang”,balas Sandi.
“ Enggak San... aku yang dibawah lampu...”.” Kamu dimana? Cepat kesini..tolong aku”. Kata kata Sonia tadi membuat Sandi menjadi bingung.
“kamu lihat kartu di atas pos itu Son?”
“Iya San, kartu 7 Sekop”. Jawab Sonia.
“lalu apa yang ada di pojok kiri sana itu?”,Sandi segera mengambil benda itu juga.
“Gelas kosong San...kenapa kau bertanya hal itu...? kamu dimana?”
Sandi membanting gelas yang ia pegang itu. Akhirnya dia sadar bahwa ada yang tidak beres dengan tempat mereka berdua berpijak. Mereka berdua tidak dapat menemukan satu sama lainnya, dan mereka berada di tempat yang sama. Hanya telepon inilah penyambung dunia mereka mereka sekarang.
Tangis Sonia makin terisak. Tak ada kata kata Sandi yang mampu menenangkan Sonia. Lalu Sandi mengajak Sonia ke tempat lain. Dia menunjuk kebawah pohon besar di tengah lapangan tadi itu.
“ Son..bateraiku hampir habis”...kata Sandi sembari bersandar.” Kamu lihat batu itu? Batu yang berbentu seperti hati?”
“ Iya San..?ke..kenapa?”,kata Sonia sedih.
“ Peganglah”, kata Sandi.
Sonia mengambil batu itu.
“Letakkan batu itu di dadamu seperti aku meletakkannya sekarang.” Instruksi Sandi segera.
Sonia menangis sangat keras.
“ Son, sepertinya saat kita berada di dunia yang berbeda. Aku baru saja mengenalmu, tapi aku rasa aku mencintaimu. Kita memang banyak melakukan dosa sebelum ini. Biarlah di kehidupan mendatang kita bisa bertemu lagi sebagai orang yang lebih baik. Dan saat itu, biarlah aku menjadi pacarmu.”
“iyaa..! aku suka kamu Sandi. Aku mau...!”, ucap Sonia keras. Namun itu semua terlambat. Telepon sudah terputus. Dan di depan Sonia yang sedang duduk sekarang, sudah muncul Sandi yang lain.

*************************